..::::::..

UIN – IAIN Berkiblat ke Barat

UIN – IAIN Berkiblat ke Barat

Menyebarkan Virus Perusak Iman

Pengantar Redaksi:

Di Indonesia, tanggal 2 Mei biasanya disebut sebagai Hari Pendidikan Nasional. Dalam kaitannya dengan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi Islam di Indonesia selama ini tampaknya banyak masalah.

Selama sekitar 36 tahun sejak 1975 atau sejak Prof Dr Harun Nasution pulang dari kuliahnya di Mc Gill University, Canada, (sekitar 1969) kemudian bercokol di IAIN Jakarta lalu mengubah system/ kurikulum pendidikan di IAIN, STAIN, STAIS (Institut Agama Islam Negeri, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, dan Swasta) se-Indonesia dari faham Ahlus Sunnah diubah jadi Mu’tazilah (menurut pengakuan Harun Nasution) maka benar-benar berubah. Lebih-lebih dengan penggalakan pengiriman dosen-dosen IAIN se-Indonesia untuk belajar “Islam” ke negeri-negeri kafir di Barat, maka dampaknya sangat terasa. Setelah mereka pulang dari negeri Barat tidak sedikit yang menjadi orang aneh atau nyeleneh. Sampai Iblis pun dikatakan akan masuk surga dan surganya tertinggi. Na’udzubillahi min dzalik dari dusta yang amat dusta itu!

Penggalakan pengiriman dosen-dosen IAIN untuk belajar apa yang diklaim sebagai “metodologi pemahaman Islam” agar lebih maju menurut Menteri Agama yang lalu, Munawir Sjadzali, itu diintensipkan sejak Menteri Agama Mukti Ali 1975. Paling gencar adalah di masa Menteri Agama Munawir Sjadzali dua periode, 1983-1993.

Periode inilah di Indonesia, pemahaman Islam benar-benar diombang-ambingkan oleh orang-orang pemegang peran namun nyeleneh (aneh). Mereka adalah:

n Menteri Agama Munawir Sjadzali (mau mengubah hukum waris Islam, QS An-Nisaa’ ayat 11 dianggap tidak adil),

n Harun Nasution (mengubah kurikulum perguruan tinggi Islam se-Indonesia yang dilaksanakan sampai sekarang, hasilnya meliberalkan pemahaman Islam),

n Nurcholish Madjid menjurus ke arah paganisme sampai Iblis pun disebut akan masuk surga,

n Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mau mengindonesiakan Islam dengan istilah membumikan Islam, di antaranya lafal assalamu’alaikum cukup diganti dengan selamat pagi dan sebagainya.

Kenyataan itu seakan merupakan pola bahwa pusat-pusat strategis dijadikan sarana perusakan Islam dengan menyuntikkan pemahaman yang membahayakan Islam. Betapa tidak. Pusat-pusat strategis itu adalah:

– Kementerian Agama, Munawir Sjadzali Menteri Agama

– IAIN/ UIN alias perguruan tinggi Islam se-Indonesia, Harun Nasution

n Jalur intelektual, Nurcholish Madjid

n Jalur Ormas Islam besar – NU, Gus Dur

Di samping itu masih didukung dengan tenaga-tenaga nyeleneh alumin Barat. Lantas betapa dahsyatnya ketika pentolan-pentolan nyeleneh plus tenaga-tenaga nyeleneh alumni Barat itu ketika mengombang-ambingkan Islam. Sangat membahayakan. Dari Ahlus Sunnah menjadi berfaham sipilis (sekulerisme, pluralisme gama alias menyamakan semua agama, dan liberalisme).

Dari kenyataan itu maka muncul keprihatinan Ummat Islam, di antaranya dikeluarkanlah fatwa oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) tahun 2005 tentang haramnya faham Sekulerisme, pluralisme agama, dan liberalisme.

Beberapa bulan sebelum itu tahun 2005 pula terbitlah buku Hartono Ahmad Jaiz berjudul Ada Pemurtadan di IAIN, dan langsung dibedah di Islamic Book Fair di Senayan Jakarta, Maret 2005, oleh penulis buku dan dosen Pasca Srjana IAIN Surabaya Dr Roem Rowi alumni Al-Azhar Mesir.

Untuk mengetahui masalah-masalah ini, perlu disimak laporan berikut ini, yang ditulis tahun 2005 saat gencar-gencarnya menyoroti tentang pendidikan Islam di perguruan tinggi se-Indonesia. Inilah laporannya:

IAIN Berkiblat ke Barat

Menyebarkan Virus Perusak Iman

IAIN berkiblat ke Barat makanya menyebarkan virus perusak iman. Virus penghancur iman itu telah merata di IAIN, STAIN, STAIS, UIN, dan bahkan sampai ke Fakultas Agama Islam di perguruan tinggi umum. Karena memang pendidikan agama Islam di perguruan tinggi di Indonesia ini kurikulumnya, system pengajarannya, dan dosen-dosennya berkiblat ke Barat, bukan ke Islam. Padahal Barat itu sendiri sikapnya terhadap agama adalah merusaknya.

Demikian rangkuman yang bisa diambil dari acara bedah buku Ada Pemurtadan di IAIN karya Hartono Ahmad Jaiz. Acara berlangsung Ahad, 19 Juni 2005/ 12 Jumadil Awwal 1426H di Masjid Pesantren Al-Husnayain pimpinan KH Ahmad Kholil Ridwan alumni Gontor dan Jami’ah/ Universitas Islam Madinah. Pesantren ini di Jl Lapan Pasar Rebo Cibubur Jakarta Timur. Bertindak sebagai pembicara adalah penulis buku, Hartono Ahmad Jaiz, dan dosen pasca sarjana IAIN Bandung Dr Daud Rasyid MA alumni Kairo Mesir. Acara ini dipandu Ust Mustofa Aini alumni Universitas Islam Madinah, dihadiri jama’ah yang memenuhi masjid.

Dr Daud Rasyid mengemukakan, IAIN betul-betul terjadi pembaratan. Bukan saja orang-orang jebolan dari Barat tapi juga asli dari Barat. Kata Daud yang bermarga Sitorus dari Batak ini, tahun 1996 dia masuk IAIN Jakarta, karena di pascasarjana belum ada guru hadits. Daud Rasyid ditanya Harun Nasution, nama saudara siapa? Saya Daud Rasyid.

Ya, nama ini tidak asing di kepala saya, jawab Harun Nasution.

Sampai 3 tahun berturut-turut Daud Rasyid mengajar di IAIN Ciputat Jakarta, tetapi begitu Dr Harun Nasution meninggal, Daud Rasyid pun diusir dari IAIN Ciputat oleh rektornya yang sekarang (Azyumardi Azra). Ketika saya tanyakan, kenapa saya tidak diberi jam kuliah di pascasarjana IAIN? Semua yang ada di sana diam seribu bahasa. Artinya, keberadaan saya di sana tidak mereka senangi, karena menurut mereka, membuat pusing. Karena tadinya murni orientasinya barat, lalu ada orientasi Timur Tengah, ini jadi bingung ini, keluh calon doctor di IAIN Ciputat Jakarta.

Setiap dalam kuliah, Daud Rasyid mematahkan celotehan-celotehan para calon doctor yang berfikirnya model orientalis dan barat, dan mereka tak bisa menjawab. Lalu terjadi kebingungan, yang mana yang harus diikuti, Barat atau Timur Tengah?

Terakhir, menjelang Pak Harun meninggal, lanjut Daud, saya diminta jadi penguji tetap orang yang akan menjadi doctor. Materi ujian komprehensip itu tiga: Al-Qur’an, Hadits, dan Pemikiran Islam. Rupanya Pemikiran Islam ini mata kuliah wajib, untuk menanamkan Mu’tazilah pada mereka. Kurang lebih setahun saya menjadi penguji, siapapun yang akan menjadi doctor harus berhadapan dengan saya, mata kuliahnya hadits. Nah di situ mereka ada yang sport jantung katanya, ada yang keringat dingin kalau menghadapi Pak Daud dalam ujian.

“Pak Harun Nasution ketika mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang Mu’tazilah (kepada mahasiswa calon doctor yang sedang diuji) dia melirik saya,” ungkap Daud.

Demikianlah, tetapi begitu beliau (Harun Nasution) meninggal, saya sama sekali tidak diberi jam kuliah untuk mengajar. Katanya saya sudah ditugaskan ke IAIN Bandung. Sekarang di IAIN Bandung pun saya menikmati keterusiran saya. Saya dalam memberikan kuliah hadits, saya katakan, di sini kalau ada yang membawa-bawa faham-faham Syi’ah, Mu’tazilah dan lain-lain, silahkan di luar pagar. Ini kuliah hadits. Tidak menerima Syi’ah, Mu’tazilah dan lain-lain. Sampai di Universitas Ibnu Chaldun Bogor di pascasarjana, ada alumni IAIN Ciputat Jakarta, ternyata dalam makalahnya dia menyusupkan faham Syi’ah untuk membenci sahabat, asing, aneh, janggal dan bertentangan dengan hadits dengan cara yang halus sekali, tapi racun.
Pemikiran di IAIN Prototipe dari Orientalis Barat

Jadi produk-produk IAIN sana, ungkap Daud Rasyid, pemikirannya terkena percampuran Liberal, Mu’tazilah, kalau tidak ya Syi’ah, Shufiyah/ Tasawuf. Ini semua merupakan prototype dari orientalis di Barat. Orientalis di Barat itu sebagaimana kata Dr Ismail Faruqi, yang dikabarkan mati terbunuh oleh agen-agen Zionis di Amerika, bahwa studi Islam di Barat itu adalah kumpulan dari pemikiran-pemikiran sesat; apakah itu yang namanya Syi’ah, Mu’tazilah, Shufiyah/ Tasawuf, dan sejenisnya, di sana bergabung.

Tahun lalu saya mengunjungi 7 pusat studi Islam di Inggeris. Diantaranya di Brimingham, Manchester, Oxford dll, saya lihat langsung, bagaimana Islamic Studies itu, betul apa yang dinamakan oleh para pendahulu bahwa Islamic Studies di Barat itu di bawah naungan apa yang dinamakan grand design (rancangan besar).

Seorang Kristen Koptik kuliah di Amerika, lalu ditugaskan dalam penelitiannya untuk mencari titik-titik kelemaham Al-Qur’an. Setelah meneliti justru masuk Islam, tetapi resikonya harus menghadapi aneka tekanan yang harus diderita.

Pascasarjana IAIN, lanut Daud Rasyid, ada dua yang jadi sumber virus pemikiran di Indonesia, yaitu IAIN Jakarta dan IAIN Jogjakarta (kedua-duanya jadi UIN –Uinversitas Islam Negeri). Jarang sekali orang kalau sudah masuk ke sana masih terpelihara pemikirannya. Ada tapi jarang sekali. Karena orang-orang yang masuk ke sana (pascasarjana IAIN), begitu studium general (kuliah umum), Prof Harun Nasution berbicara:

“Saudara-saudara, pemikiran pemahaman anda yang ada di S1 (doktorandus atau sarjana agama) itu semuanya harus disingkap hingga lepas. Semua pemahaman Islam yang anda dapatkan di S1 itu semua harus dilepas. Sekarang kita masuk ke mimbar bebas pemikiran.”

Itu doktrin studium general orang baru masuk pasca sarjana IAIN. Setiap tahun pidato Harun Nasution itu dia ulang-ulang terus. Jadi dia ingin mengemukakan apa, kalau dulu masih ada sisa cinta kepada Al-Qur’an, keberpihakan kepada Hadist, itu harus dibuang. Di sini mengkaji Islam secara akademik. Tidak berpihak kepada keimanan atau keyakinan. Artinya, tinggalkan semua akidah dan keimaman, begitu anda masuk kemari, begitulah kira-kira tafsirannya. Jadi ini kalau terus dibiarkan, sangat berbahaya.

Lalu solusinya apa?

Ini Menteri Agama yang baru ini kan orang dari Gontor, yang masih koleganya Ust Kholil Ridwan (Pemimpin Pesantren Husnayain di Cibubur Jakarta Timur, penyelenggara bedah buku Ada Pemurtadan di IAIN). Perlu ada usul kepada Menteri Agama, masalah kurikulum IAIN, mesti ditinjau ulang, saran Daud.

Kedua, soal pascasarjana. Pascasarjana ini penting, karena merupakan sarang think tank nya umat Islam. Maka perlu diusulkan kepada Menteri Agama, orang yang menjadi direktur pasca sarjana itu hendaknya lulusan Timur Tengah yang pikirannya benar-benar lurus. Sekarang ini direktur pascasarjana UIN Jakarta itu Qomaruddin Hidayat. Rektornya Azyumardi Azra, ya kloplah, jelas Daud.

Menteri Agama sekarang ini keluaran Timur Tengah, mantan Dubes di Arab Saudi, artinya bau-bau Ka’bah itu masih melekatlah sama dia. Jadi keberpihakannya itu masih diharapkan kepada pemikiran Islam yang shahih, tandas Daud dengan nada harap.[1]

Kasus Nasr Hamid Abu Zayd

Daud Rasyid juga menuturkan tokoh pengusung hermeneutika (metode tafsir bible) yang pernah didatangkan ke UIN Jakarta, padahal telah divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir 1996.

Dr Nasr Hamid Abu Zayd buru-buru kabur dari Mesir, kata Dr Daud Rasyid, karena Faraq Fauda yang belum divonis murtad oleh pengadilan saja sudah jadi bangkai dibunuh orang. Lha Nasr Hamid Abu Zayd yang sudah divonis Murtad oleh Mahkamah Agung Mesir 1996 maka tinggal menunggu hari. Dengan demikian dia buru-buru kabur dari Mesir, lari ke Belanda. Lalu dia diangkat jadi guru besar di Leiden Belanda.

Sebelumnya, tim yang meneliti karya-karya Nasr Hamid Abu Zayd dipimpin oleh Prof Abdus Shobur Shahin telah menemukan bukti-bukti kemurtadan, di antaranya Al-Qur’an diaggap sebagai muntaj tsaqofi, produk budaya. Tim ini tidak meloloskan Nasr Hamid untuk meraih gelar professor, karena hasil karya tulisnya justru menghina dan menyalahi Islam. Tidak lolosnya karya ilmiyah sebenarnya hal biasa, namun oleh kelompok sekuler, hal itu dibesar-besarkan, hingga menjadi berita dunia, sampai hebohnya bergaung hingga di Eropa, kata Daud Rasyid. Lalu Nasr Hamid akhirnya dijadikan guru besar di Leiden Belanda.

Pemurtadan secara sistematis

Sementara itu Hartono Ahmad Jaiz penulis buku Ada Pemurtadan di IAIN mengemukakan bahwa pemurtadan di IAIN sudah merata bahkan seluruh perguruan tinggi Islam, sampai yang swasta bahkan Fakultas Agama Islam di perguruan tinggi umum sudah terkena pula, yaitu terkena virus pemurtadan. Karena kurikulumnya, system pengajaran, dan dosen-dosennya mengusung pemikiran yang merusak.

Yang dirusak yaitu:

1. Aqidah Islam, dari tauhid, mengesakan Allah, digeser ke kepercayaan pluralisme agama (menyamakan semua agama). Ini sangat menyelewengkan Islam, baik secara keyakinan maupun keilmuan. Jadi dari penegakan Tauhid justru dialihkan ke pemasaran kemusyrikan, penyaman semua agama.

2. Pemahaman Islam dirusak secara sistematis. Tidak merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan metode yang benar, tetapi merujuk metode Barat yang diprogram untuk mencela Islam dan merusak pemahaman Islam.

3. Penggeseran pembelajaran Islam, dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta aqidah Islamiyah (Tauhid) ke Sejarah Pemikiran Islam (SPI) dan Sejarah Peradaban/ Kebudayaan Islam (SKI). Bahkan SPI dan SKI itu dijadikan matakuliah dasar umum (MKDU) untuk semua fakultas dan jurusan di seluruh perguruan tinggi Islam, bahkan sampai ke Fakultas Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Dari situlah (dari dua mata kuliah dasar umum) yang diwajibkan kepada seluruh mahasiswa dan waktu smesternya bersambung-sambung itulah perusakan pemikiran dan pemahaman Islam dilancarkan secara sistematis oleh dosen-dosen yang sudah dirancang untuk mengusung faham model kafir Barat yang pada intinya adalah anti agama, dengan menghancurkan agama pakai faham pluralisme agama, menyamakan semua agama. Di antara alat untuk menghancurkan agama yaitu apa yang mereka sebut metode hermeneutic yaitu metode tafsir bible, yang telah mampu merusak agama Yahudi dan Kristen. Kini metode hermeneutika itu telah diajarkan di IAIN/ UIN Jakarta dan Jogjakarta.

4. Penggeseran pembelajaran Islam dari ahlinya, yaitu para ulama dan perguruan Islam di Timur Tengah dialihkan ke belajar Islam kepada orang kafir Yahudi, Nasrani ataupun mengaku Islam tetapi secular dan berfaham aneh-aneg alias nyeleneh di perguruan-perguruan tinggi di Barat. Padahal para pendiri studi Islam di Barat sudah dikenal kebanayakan adalah para orientalis yang tujuannya: penjajahan, kristenisasi, dan pembaratan.

5. Pembelajaran Islam yang sebenarnya untuk membentuk generasi Islam yang faham Islam dialihkan menjadi sarang-sarang dan pabrik pembaratan, perusakan Islam secara sitematis, menggantikan pabrik-pabrik perusakan Islam di Barat. Jadi perusakan Islam di Indonesia sudah ada pabriknya-pabriknya, yaitu IAIN-IAIN atau perguruan tinggi Islam se-Indonesia untuk meliberalkan dan mempluralismekan agama umat Islam alias memusyrikkan. Sedang para pengasongnya atau pengetengnya adalah JIL (Jaringan Islam Liberal) pimpinan Ulil Abshar Abdalla dan 44 lembaga lainnya yang mengusung faham liberal dan pluralisme agama yang merusak Islam. Dana untuk perusakan Islam itu didapat dari lembaga-lembaga swasta kafir dan negara. Di antaranya satu lembaga kafir swasta saja membiayai 44 lembaga, dan untuk satu lembaga seperti JIL saja mendapatkan Rp1,4 miliar per tahun dari The Asia Foundation, lembaga kafir swasta yang berpusat di Amerika. Ulil Abshar Abdalla mengaku kepada Majalah Hidayatullah Desember 2004 bahwa dana Rp1,4 miliar yang dia terima per tahun dari The Asia Foundation itu kecil dibanding yang diterima oleh lembaga-lembaga lainnya (dari 44 lembaga di antaranya lembaga-lembaga di lingkungan NU, Muhammadiyah, IAIN, UIN, perguruan tinggi Islam swasta dan lain-lain). Satu lembaga swasta kafir saja sudah bisa membiayai 44 lembaga berfaham liberal yang memecundangi Islam. Padahal di Indonesia ini ada 48 lembaga swasta internasional. Dari 48 lembaga swasta internasional itu yang lembaga kafir 47, sedang yang Islam hanya satu, namun yang satu Islam yaitu Al-Haramain Foundation sudah dibredel oleh Amerika. Jadi yang 47 lembaga swasta kafir dibiarkan hidup, bahkan satu lembaga kafir saja membiayai 44 lembaga perusak Islam, sedang satu lembaga Islam dibredel paksa. Inilah Indonesia di bawah Amerika.

6. Dunia ini ada kekuatan yang menghancurkan Islam dengan dua cara. Pertama dengan cara membunuhi secara fisik, misalnya yang terjadi di Irak, Afghanistan, Palestina, Tailand dan sebagainya. Kedua, pembunuhan keimanan seperti yang dilakukan di Indonesia yaitu mencabuti keimanan, dari tauhid ke pluralisme agama alias kemusyrikan, lewat pendidikan terutama IAIN/ UIN dan lain-lain di antaranya 44 lembaga yang dibiayai swasta kafir. Semuanya itu dengan dana sangat besar. Dan bahkan sudah merambah ke pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah untuk diubah kurikulumnya dengan didanai Amerika (negara, belum lagi yang swasta) 157 juta dolar. Sedangkan untuk perusakan kurikulum pendidikan Islam di dunia Islam maka didanai Amerika satu miliar dolar pertahun. Jadi umat Islam ini dibunuhi fisiknya, dan dibunuhi keimanannya. Pembunuhan keimanan ini lebih dahsyat dibanding pembunuhan fisik. Karena kalau hanya pembunuhan fisik, maka ketika umat Islam dibunuh sedang iman di dadanya masih utuh, insya Allah masuk surga. Tetapi pembunuhan keimanan dengan melalui pendidikan yang pada dasarnya mencabuti keimanan, maka walaupun fisiknya masih hidup namun imannya mati, lalu ketika fisiknya mati maka masuk neraka. Itulah yang di dalam Al-Qur’an dinyatakan:

وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ

Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan. (QS Al-Baqarah: 191).

Tekanan bahkan penggeseran keimanan itu lebih dahsyat dibanding pembunuhan.

Dengan kenyataan yang sangat membahayakan bagi umat Islam ini maka tidak ada jalan lain kecuali membela agama Islam, dan berupaya menyingkirkan segala gangguan yang sistematis dan dibiayai besar-besaran itu. Apabila ini dibiarkan maka keadaan akan semakin rusak dan sangat membahayakan.
Di berbagai IAIN

Buku Ada Pemurtadan di IAIN yang terbit pertengahan Maret 2005 ini telah dibedah di berbagai IAIN dan tempat-tempat umum di berbagai kota. Pertama kali dibedah di acara pameran Buku Islam (Islamic Book Fair) di Senayan Jakarta, 27 Maret 2005 dengan pembedahnya penulis buku, Hartono Ahmad Jaiz, dan pembandingnya Dr Roem Rowi alumni Al-Azhar Mesir, dosen Tafsir di Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya. Kemudian di UIN Jakarta pembedahnya dua dari pihak pro buku yaitu Hartono Ahmad Jaiz dan Muhammad At-Tamimi melawan dua orang pro IAIN: Abdul Muqsoth Ghozali alumni IAIN Jakarta dan sekaligus jadi dosen di sana, dan Ulil Abshar Abdalla kordinator JIL. Debat pun terjadi, dihadiri 1000-an orang. Berita tentang debat di UIN Jakarta itu bisa dilihat di www. Swaramuslim.com dalam judul Melawan ‘Setan JIL’ di Sarangnya. Juga bisa dilihat di VCD dalam judul Debat Terbuka Buku Ada Pemurtadan di IAIN. (Kini tampaknya beredar pula di internet dan bisa didownload).

Di IAIN Serang Banten, buku ini dibedah penulis bersama Dr Utang R, dosen/ dekan (?) Fak Ushuluddin di sana dan anggota MUI Pusat. Sedangkan seorang dosen yang konon berfaham liberal tidak hadir. Di IAIN Serang Banten ini Dr Utang menjamin bahwa di sini tidak ada pemurtadan. Namun jaminan itu dibantah oleh seorang mahasiswi, bahwa di sini ada dosen-dosen, di antaranya kalau mengajar filsafat mengatakan, agar mata kuliah filsafat bisa masuk ke pikiran mahasiwa maka hendaknya dilepaskan dulu keimanannya. Sementara itu dalam mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, dosennya mempersilakan untuk mengecam-ngecam para sahabat Nabi saw. Padahal, kata mahasiswi itu, apalah artinya kita bila dibanding kebaikan para sahabat Nabi saw.

Ketidak hadiran pembicara dari IAIN yang dikenal berfaham liberl sering terjadi. Di IAIN Lampung, panitia yang sudah serius berupaya untuk menghadirkan dosen IAIN yang diketahui liberal, sampai hari h tidak terlaksana. Bahkan untuk jadi moderator pun ketika wakil rector mengharapkan dari kalangan dosen yang liberal tidak ada yang tampil. Maka pembahasan buku dilakukan tiga orang: Hartono Ahmad Jaiz, Ust Madrus da’I dari RRI Lampung, dan seorang ustadz dari Dewan Dakwah.

Lain lagi di Universitas Brawijaya Malang. Panitia khabarnya telah mendapatkan info kesanggupan rector UIN Malang, Prof Dr Imam Suprayogo, tahu-tahu menjelang hari h beliau membatalkannya. Lalu panitia mendapatkan ganti Dr Mujab alumni Aligarh India, ketua jurusan Bahasa Arab Pascasarjana UIN Malang. Justru dosen yang bukan alumni IAIN ini mengemukakan keroposnya system pendidikan di IAIN yang penyerahan mata kuliah saja belum tentu kepada ahlinya, hanya karena titelnya doctor. Padahal orang luar banyak yang lebih ahli, hanya saja karena tak bergelar doctor maka tidak boleh mengajar.

Di IAIN Semarang, Hartono Ahmad Jaiz berhadapan dengan Dr Abu Hafsin dosen IAIN di sana, alumni Bangkok dan Los Angles Amerika. Alumni Bangkok itu disindir Hartono: Dulu para ulama berseminar fiqih tingkat internasional di Brunei Darussalam, lalu mereka mau pulang, ada kapal terbang yang transit di Bangkok. Para ulama itu tidak mau pakai yang transit di Bangkok, karena Bangkok daerah hitam (pelacuran). Lha ini belajar Islam kok ke Bangkok? Juga Nabi saw wanti-wanti, laa tas’aluu ahlal kitaab ‘an syai’. (Jangan kamu bertanya kepada ahli kitab/ Yahudi dan Nasrani tentang sesuatu (lihat Kitab Shahih Al-Bukhori dan Syarahnya, Fat-hul Bari) tetapi ini kok belajar Islam ke Barat ke orang kafir. Ini mengikuti Nabi saw atau ikut orientalis?

Pembicaraan di IAIN Semarang itu cukup seru, sedang Dr Abu Hafsin asal Kuningan Jabar dan alumni Pesantren Buntet Cirebon ini mendapat sorotan dari dua pembicara lagi yaitu Ridwan Saidi dari Jakarta dan seorang alumni IKIP Jogjakarta yang menulis buku membongkar pemikiran JIL (Jaringan Islam Liberal).

Di IAIN Bandung, Hartono dan Daud Rasyid bersamaan pula dalam mengungkap nyelewengnya pemikiran liberal yang disusupkan secara sistematis di IAIN. Anehnya, di kampus yang pernah ada kasus ajakan dzikir dengan lafal Anjing hu Akbar dan spanduk berbunyi selamat datang di areal bebas Tuhan ini ketika Hartono dan Daud Rasyid berbicara sampai mempersoalkan dekan Ushuluddin, Abdul Razak yang membela ungkapan-ungkapan menghina Islam tersebut lewat TV 7, ternyata tidak ada seorang hadirin pun baik mahasiswa maupun dosen yang berkutik untuk menyanggah dua orang dari Jakarta ini.

Di Islamic Center Tanjung Priok Jakarta, buku Ada Pemurtadan di IAIN dibedah oleh penulis dan Dr Ahmad Satori alumni Al-Azhar Mesir yang juga dosen UIN Jakarta. Dalam acara yang diprakarsai pemuda Al-Irsyad itu Dr Ahmad Satori mengatakan, pemikiran aneh dari Hasan Hanafi (kiri Islam –al-yasar al-Islamy) dan Nasr Hamid Abu Zayd (Al-Qur’an itu produk budaya – muntaj tsqofi) itu di Mesir sendiri tidak laku. Karena orang Mesir tahu Islam. Tetapi di sini di IAIN di Indonesia justru laku, karena tidak tahu Islam.

Ungkapan Dr Satori itu apakah menyindir sesama rekannya yang jadi dosen di IAIN atau bagaimana, wallahu a’lam. Tetapi ketika di IAIN Bandung, Hartono mengatakan, bagaimana di IAIN ini mau memahami Islam dengan baik, orang dosennya yang membela dzikir dengan lafal Anjing hu Akbar itu sendiri menurut mahasiswanya, kalau jadi imam sholat, bacaannya tidak fasih. Demikian pula ketika di Semarang: Bagaimana mereka itu dikirim belajar Islam ke Barat? Sedang yang mengaku telah belajar Islam ke ulama di pesantren 11 tahun seperti Pak Abu Hafsin ini saja pemahamannya tentang Islam seperti itu? (Yaitu hanya menirukan Munawir Sjadzali –mendiang, menteri agama 1983-1993, yang menuduh Umar bin Khothob ra sebagai orang yang sangat liberal dan menyelisihi nash/ teks Al-Qur’an yang sudah jelas maknanya).

Demikianlah bahaya yang sedang dilandakan kepada umat secara sistematis dan dibiayai besar-besaran oleh pihak-pihak kafirin untuk merusak dan menghancurkan Islam dan umatnya. Kaki tangan kaum kuffar itu mengaku sebagai Muslim, bahkan seperti Dr Abu Hafsin dosen di Semarang berani mengemukakan bahwa Nasr Hamid Abu Zayd pun hatinya ikhlas untuk mengembangkan Islam. Itulah cara berfikir dan berbicara orang liberal di IAIN. Kok tahu-tahunya isi hati orang, hingga orang yang telah divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir dan para ulama, masih bisa diklaim keikhlasan hatinya untuk Islam. Sedang Ibnu Hajar wakil rector I di IAIN Semarang mengemukakan, hadis sesoheh apapun tetap relatif. Karena Imam Bukhori pun tidak bisa membuktikan bahwa yang diriwayatkan itu benar-benar yang diucapkan Nabi saw.

Anehnya, kata Hartono Ahmad Jaiz, orang model ini, kalau ada kutipan bahwa Socrates bilang begini begitu, Plato bilang begini begitu, malah ucapannya ditelan saja. Padahal, apakah Socrates, Plato itu ada? Padahal kalau kita tidak percaya adanya Socrates dan Plato, apalagi perkataannya, kita tidak dosa. Namun mereka justru langsung percaya. Ini aneh. Socrates dan Plato dipercaya, padahal tidak jelas siapa sanadnya, siapa rowinya? Tidak jelas. Sedangkan hadits, sangat jelas sanad dan rowinya. Kalau memang shohih, itu sanad dan rowinya sangat jelas, bisa dipertanggung jawabkan secara keilmuan. Tetapi dasar cara berfikir di IAIN telah ngawur, maka dosen-dosennya banyak yang berfikir terbalik. Filsafat yang tidak ada landasannya, tidak ada sanad dan rowinya justru diusung dan dipuja. Sebaliknya, Al-Qur’an diragukan, hadits sesohih apapun direlatifkan. Inilah sebenar-benarnya pemurtadan! tandas Hartono Ahmad Jaiz. (Abu Qori).

[1] Harapan Dr Daud Rasyid belum terwujud, sementara itu Menteri Agama penggantinya, Suryadharma Ali, sekarang tampak “gemas” dengan ulah kelompok liberal yang sampai menuntut pencabutan Undang-ndang anti Pornografi dan Pornoaksi, serta Undang-undang larangan Penodaan Agama. Tuntutan gerombolan liberal itu ditolak oleh MK (Mahkamah Konstitusi) hingga kedua Undang-undang itu tetap berlaku.



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP