Hati-hati terhadap Dosa Syirik
Oleh: Adian Husaini
Beberapa hari lalu, melalui dua orang menteri kabinetnya, saya mengirim pesan singkat kepada Presiden SBY: “Ada dua dosa yang cepat mendatangkan azab Allah SWT, yaitu dosa syirik dan meninggalkan amar makruf nahi munkar.”
Semoga pesan itu sampai kepada Presiden SBY. Masalah tauhid dan dosa syirik, seperti kita sebutkan pada catatan yang lalu, merupakan masalah yang paling serius dalam kehidupan manusia. Syirik adalah kezaliman yang sangat besar, karena manusia yang diciptakan Allah, diberi rizki oleh Allah, diberi kehidupan oleh Allah, kemudian justru tidak tahu berterimakasih dan membuat sekutu yang lain bagi Allah.
Karena itu, Rasulullah saw mengajarkan sebuah doa untuk terhindar dari dosa syirik: “Ya Allah, aku meminta perlindungan kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan Engkau dengan sesuatu, sedangkan aku mengetahui hal itu. Dan aku meminta perlindungan kepada Engkau dari tindakan menyekutukan-Mu dengan sesuatu dan aku tidak tahu.” (Allahumma inni a’udzubika min an usyrika bika syaian wa ana a’lamu; wa a’udzubika min an usyrika bika syaian wa ana laa a’lamu).
Dalam buku berjudul Kemusyrikan Menurut Madzhab Syafii karya Dr. Muhammad Abdurrahman al-Khumais (diterjemahkan oleh Prof. Ali Musthafa Ya’qub) disebutkan sejumlah definisi syirik menurut sejumlah ulama mazhab Syafii.
Menurut al-Raghib al-Asfahani, “Syirik yang dilakukan manusia dalam agama itu ada dua macam. Pertama, syirik besar, yaitu menetapkan adanya sekutu bagi Allah, dan ini merupakan kekafiran yang terbesar. Kedua, adalah syirik yang samar (tidak jelas) dan kemunafikan.”
Al-allamah Ali as-Suwaidi al-Syafii berkata: “Ketahuilah, bahwa syirik itu adalah terjadi di Rububiyah, dan adakalanya terjadi di Uluhiyyah. Yang kedua ini dapat terjadi di dalam I’tiqad (keyakinan), dan juga dapat terjadi di dalam mu’amalat khusus dengan Allah.”
Imam Ahmad bin Hajar Ali Buthami al-Syafii mengingatkan bahwa iman itu bercabang-cabang, demikian juga dengan kekafiran dan kemusyrikan. Apabila orang menjalankan cabang-cabang iman tetapi juga menjalankan cabang-cabang kemusyrikan, maka ia disebut musyrik. Iman seseorang tidak akan diterima oleh Allah apabila hanya separuh-separuh; separuh iman, separuh kafir. Ia wajib tunduk seraya meyakini terhadap apa yang disebutkan oleh Al-Quran dan dibawa oleh Rasulullah saw, serta mengamalkannya. Orang yang beriman kepada sebagian ajaran Al-Quran dan tidak beriman kepadasebagian yang lain, maka dia termasuk kafir. Allah memperingatkan tentang orang-orang seperti ini:
“Orang-orang kafir itu mengatakan: “Kami beriman kepada sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain), serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman dan kafir). (QS An-Nisa : 150).
Menurut Imam Ahmad bin Hajar, mengucapkan dua kalimat syahadat saja tidak akan ada gunanya bagi mereka, sampai mereka mau mengamalkan isi maksud dari dua kalimah syahadat, yaitu melepaskan diri dari menyembah selain Allah dan hanya beribadah kepada Allah saja. Namun, beliau mengingatkan, agar tidak terburu-buru menuduh seseorang yang melakukan tindakan syirik sebagai kafir atau musyrik, sebelum menjelaskan kepada mereka tentang kekeliruan mereka tersebut. Barangkali mereka tidak memahami masalah tersebut karena kebodohannya. Apabila sudah dijelaskan tentang masalah syirik, tetapi tetap menjalankannya, maka barulah diperbolehkan menyebut mereka sebagai musyrik.
Peringatan Rasulullah saw dan para ulama tentang kemusyrikan ini sangat perlu kita camkan benar-benar, demi keselamatan keimanan kita masing-masing. Jangan sampai kita terjebak ke dalam dosa syirik, baik yang kita ketahui atau yang tidak ketahui, sebagaimana doa yang diajarkan Rasulullah saw. Sebab, syirik adalah dosa yang tidak diampuni oleh Allah, kecuali orang itu benar-benar meninggalkan dosa syirik tersebut. Allah memperingatkan kita semua:
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka pasti Allah akan mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka. Tidak ada orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS al-Maidah: 72).
QS al-Maidah ayat 72 ini diawali dengan penegasan Allah SWT: “Sungguh telah kafirlah orang-orang yang menyatakan bahwa Allah ialah al-Masih Ibnu Maryam, padahal al-Masih sendiri berkata: Hai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu.”
Pandangan Tauhid Islam ini sangat jelas, yakni tidak menjadikan manusia mana pun – termasuk Adam atau Isa a.s.– sebagai Tuhan atau anak Tuhan. Nabi Muhammad saw diutus oleh Allah SWT untuk meluruskan pandangan dan kepercayaan kaum Nasrani tersebut. Doktrin trinitas yang mengakui Ketuhanan Yesus secara resmi diformulasikan dalam Konsili Nicea tahun 325 M. Bahkan, dalam konsili ini, pandangan Arius yang menyatakan bahwa Tuhan anak tidak sehakekat dengan Tuhan Bapak, ditolak oleh mayoritas peserta Konsili. Bahkan, dalam dekrit Nicea tersebut, Arius secara resmi dikutuk oleh Gereja. Konsili menerima pandangan Athanasius yang menyatakan bahwa Tuhan anak sehakekat (homoousios) dengan Tuhan Bapak.
Posisi Al-Quran memang sangat berbeda dengan Bibel. Sebagai kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi terakhir, Al-Quran memberikan kritik-kritik yang tegas dan jelas terhadap kepercayaan Yahudi dan Kristen. Posisi ini tentu tidak bisa sebaliknya. Karena Bible ditulis dan dirumuskan sebelum kedatangan Islam. Ibnu Taymiyah menyebut kaum Yahudi dan Kristen (Ahlul Kitab) sebagai kaum musyrik bil-fi’li, tetapi bukan musyrik bil-ismi. Dalam pandangan Islam, mereka disebut kafir ahlul kitab.
Jadi, dalam masalah keimanan, memang terdapat pandangan dan keyakinan yang sangat berbeda antara Islam dan Kristen. Sejak lahirnya Islam, masalah ini sudah sering diperdebatkan. Bahkan Nabi Muhammad saw sendiri beberapa kali melakukan perdebatan dengan kaum Nasrani. Karena tidak mencapai titik temu, maka Nabi Muhammad saw diperintahkan agar mengajak kaum Nasrani untuk melakukan mubahalah (sumpah laknat), sebagaimana diceritakan dalam Surat Ali Imran ayat 61:
"Barangsiapa membantah engkau tentang (kisah Isa a.s.) itu, sesudah datang kepada mereka ilmu (yang meyakinkan), maka katakanlah (kepada mereka): Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah dijatuhkan kepada orang-orang yang dusta."
Soal perbebadaan keyakinan antara Islam dan Kristen ini haruslah diakui. Bahkan diantara kaum Nasrani sendiri terjadi perbedaan yang sangat tajam sehingga mereka membentuk sejumlah agama, seperti Katolik, Protestan, Anglikan, atau Ortodoks. Tiap-tiap agama ada keyakinan masing-masing, yang tidak sama satu dengan lainnya, bahkan saling bertentangan. Seperti keyakinan umat Islam dan umat Kristen tentang posisi Nabi Isa a.s.
Dalam pernyataan Natal bersama antara Konferensi Wali-wali Gereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), tahun 2006, dinyatakan:
“Kelahiran Yesus mendatangkan sukacita besar. Sukacita itu melekat dalam diri setiap orang beriman yang mampu menghayati hakikat dan makna kelahiran Yesus. Ia lahir sebagai manusia, menjadi senasib dengan manusia, dan terbuka menyambut semua orang yang datang kepada-Nya. Ia hadir di dunia untuk mewujudkan kasih Allah kepada manusia (1Yoh. 4:9).
Kasih Allah itu berpuncak pada kayu salib ketika Yesus menyerahkan nyawa untuk menanggung dosa seluruh umat manusia.” Selanjutnya dinyatakan: “Dalam hubungan dengan sesama baiklah kita memandang setiap orang dalam iman kepada Kristus. Dengan menyadari bahwa darah Kristus juga tercurah untuk mereka, maka setiap orang yang mengaku diri sebagai pengikut dan murid Kristus akan mengasihi orang itu, walaupun dalam kenyataannyaorang itu bersikap seperti musuh.”
Umat Islam tidak pernah menerima kepercayaan bahwa Nabi Isa a.s. mati di tiang salib, karena Al-Quran sudah menegaskan,
“Mereka tidak membunuh Nabi Isa dan mereka tidak menyalibnya, melainkan seseorang yang diserupakan kepada mereka.” (QS an-Nisa: 157).
Perbedaan yang mendasar ini harus diakui. Dan Konsili Vatikan II (1962-1965) juga menyatakan penghormatannya terhadap keyakinan umat Islam terhadap Nabi Isa a.s.
Dikatakan, meskipun umat Islam tidak mengakui ketuhanan Yesus, tetapi menghormatinya sebagai Nabi. Umat Islam juga menghormati keyakinan kaum Kristen tersebut, meskipun tentunya sangat berbeda secara mendasar dengan keyakinan umat Islam sendiri. Karena itu, tidaklah masuk akal ada yang menyatakan, bahwa semua agama adalah benar.
Pernyataan semacam ini jelas-jelas membenarkan pandangan yang oleh Al-Quran sudah dinyatakan sebagai pandangan kufur atau syirik.
Banyak yang sekarang ini mencoba mengecilkan masalah iman dan kemusyrikan. Ada yang menulis dalam bukunya, bahwa Thomas Alfa Edison akan masuk sorga karena sudah berjasa bagi umat manusia dengan menemukan lampu. Padahal, urusan sorga atau neraka adalah urusan Allah. Islam tidak berbicara kepada perorangan Yahudi atau Kristen, tetapi memberikan kritik-kritik dan koreksi terhadap kepercayaan mereka. Kita tidak tahu, apakah Edison benar-benar orang baik. Kita tidak tahu persis perbuatan dia yang lain sepanjang hidupnya, selain penemuan lampu. Kita juga tidak tahu, apakah Edison pernah menerima risalah Nabi Muhammad saw secara benar, atau tidak pernah. Jika kriteria masuk sorga adalah karena menemukan lampu, maka kriteria itu adalah bikinan si penulis buku tersebut. Mungkin maksudnya sorga milik kakeknya sendiri.
Umat Islam diperintahkan untuk menghormati dan bermuamalah dengan baik terhadap sesama manusia, termasuk dengan pemeluk agama lain, selama mereka tidak menyerang umat Islam. Tetapi, umat Islam juga diperintahkan agar menjauhi dosa-dosa syirik. Karena itulah, kita perlu pandai-pandai meniti buih, agar selamat sampai ke seberang. Jangan sampai karena ingin dipuji sebagai orang yang toleran, akhirnya justru mengorbankan prinsip-prinsip keimanan. Mencampuradukkan keimanan atau ritual antar agama adalah tindakan yang berbahaya dari segi keimanan.
Tidak semestinya, hal ini dilakukan oleh umat Islam. Dalam perspektif inilah, mestinya fatwa MUI tahun 1981 yang mengharamkan perayaan Natal Bersama perlu diapresiasi. Fatwa ini bukan untuk merusak toleransi beragama, tetapi merupakan satu upaya para ulama untuk melindungi aqidah Islam dari kekufuran dan kemusyrikan, dalam pandangan Islam.
Fatwa ini sama sekali tidak mengharamkan umat Islam untuk bergaul atau bermasyarakat dengan kaum non-Muslim. Dan hal semacam itu tidak ada dalam kamus Islam. Islam adalah agama yang sejak awal sudah mengakui dan menghargai perbedaan. Seorang anak yang Muslim tetap diperintahkan berbuat baik kepada orang tuanya, meskipun berbeda agama. Tetapi, jangan sekali-kali bermain-main dalam masalah keimanan dan kemusyrikan.
Sebab, pertaruhannya sangatlah mahal. Karena itu, sekali lagi, kita patut berhati-hati jangan sampai terjatuh ke dalam kemusyrikan. Peringatan Allah sangatlah jelas: bahwa Allah sangat murka jika diserikatkan dengan yang lain. Dalam suasana bencana dan musibah yang tiada henti sekarang ini, kaum Muslim, khususnya para pemimpin negara ini, patut merenungkan dengan mendalam masalah kemusyrikan ini. Jangan hanya sibuk mengandalkan ilmu geologi, meteorologi dan geofisika. Semuanya tidak mungkin terjadi kecuali dengan izin dan kekuasaan Allah SWT. Allah berkuasa menghentikan gempa, menghentikan lumpur panas, menenangkan gelombang lautan, dan memindahkan turunnya hujan.
Sekali lagi, kita mengimbau para pemimpin kita: Jangan bermain-main dengan dosa syirik! Tugas dan kewajiban kita hanyalah menyampaikan nasehat. Selanjutnya, terserah kepada mereka.
[Depok, 5 Januari 2006/www.hidayatullah.com]
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107FM dan www.hidayatullah.com
0 komentar:
Posting Komentar